BRUNOTHEBANDIT.COM – Kiss of Life Tersandung Rasisme: Dari Live Stream ke Badai Sesal! Dunia hiburan Korea Selatan kembali diguncang. Kali ini bukan karena comeback heboh atau rekor streaming, melainkan karena insiden rasisme yang menyeret nama girl group pendatang baru: Kiss of Life. Bukan panggung konser, bukan pula variety show, tapi sebuah sesi live stream justru jadi titik awal badai kontroversi yang mengejutkan banyak orang. Padahal, grup ini sedang naik daun. Sayangnya, secepat kilat pujian berubah jadi kritik pedas. Lalu, bagaimana hal ini bisa bergulir begitu cepat?
Momen Tak Terduga di Tengah Keakraban
Saat para penggemar berkumpul di live stream, tak ada yang menyangka suasana hangat itu akan berubah drastis. Awalnya, semua berjalan biasa saja—anggota Kiss of Life berbincang santai, tertawa, bahkan sempat menyapa penonton satu per satu. Namun, salah satu komentar yang dilontarkan tiba-tiba menyulut bara. Satu ucapan yang dinilai merendahkan ras tertentu langsung memicu reaksi.
Walaupun maksudnya mungkin bercanda atau spontan, publik tentu tidak bisa begitu saja mengabaikan. Rekaman live pun dengan cepat menyebar di berbagai media sosial. Dari Twitter, TikTok, hingga YouTube, potongan video itu menjadi viral dalam hitungan jam. Netizen dari berbagai negara langsung memberikan respons—mulai dari kecewa, marah, hingga menyerukan aksi boikot.
Permintaan Maaf yang Bikin Baper atau Hambar?
Tak menunggu lama, agensi tempat Kiss of Life bernaung pun merilis pernyataan. Dalam kalimat yang terstruktur rapi, mereka mengaku menyesal dan berjanji untuk melakukan edukasi internal. Salah satu anggota bahkan menyampaikan permintaan maaf secara langsung lewat Instagram Live. Tapi sayangnya, tak semua orang merasa itu cukup.
Banyak penggemar internasional menilai permintaan maaf itu sekadar formalitas. Beberapa bahkan menyebutnya seperti “copy-paste permintaan maaf standar K-Pop”. Meskipun sebagian penggemar lokal mencoba membela dan menyebutkan bahwa sang anggota mungkin tidak tahu konteks budaya yang ia ucapkan, netizen global tetap bersikap kritis.
Dengan maraknya kasus rasisme di dunia hiburan, wajar bila masyarakat menuntut tanggung jawab yang lebih dari sekadar “maaf”. Apalagi, sebagai public figure yang punya pengaruh besar, ucapan sekecil apapun bisa punya dampak yang luas dan berbahaya.
Efek Domino Kiss of Life yang Tak Terhindarkan
Buntut dari insiden ini tidak berhenti di live stream atau permintaan maaf saja. Jadwal media yang sebelumnya sudah disiapkan rapi mulai terganggu. Beberapa acara membatalkan penampilan Kiss of Life tanpa penjelasan rinci. Bahkan, ada brand yang secara diam-diam menarik kerja sama mereka dari grup ini.
Selain itu, komentar negatif membanjiri postingan media sosial Kiss of Life, mulai dari fanpage Instagram, Twitter resmi, hingga kanal YouTube mereka. Trending topic seputar grup ini muncul hampir tiap hari, namun bukan karena musik mereka melainkan karena kontroversi yang belum reda.
Tak hanya di dunia maya, efeknya terasa juga di kalangan fandom. Beberapa fanbase luar negeri memutuskan rehat sementara, dan bahkan ada yang menghapus akun fanbase mereka sebagai bentuk protes. Padahal sebelumnya, fanbase internasional inilah yang paling aktif mempromosikan grup tersebut.
Di Antara Harapan dan Ketegangan Kiss of Life
Meski situasinya pelik, masih ada sekelompok penggemar yang percaya bahwa grup ini bisa bangkit. Mereka menyerukan dialog yang membangun, bukan pembatalan total. Menurut mereka, edukasi dan perubahan perilaku lebih penting daripada sekadar “menghukum” idola.
Namun, jalan menuju pemulihan jelas tidak mudah. Kepercayaan publik sudah mulai retak, dan untuk memperbaikinya, Kiss of Life harus menunjukkan perubahan nyata, bukan sekadar kata-kata. Dunia hiburan memang penuh tekanan, tapi itu pula yang membuat tanggung jawab publik figur jadi lebih besar dari sekadar penampilan di atas panggung.
Kesimpulan:
Kiss of Life saat ini tengah berdiri di persimpangan tajam. Di satu sisi, mereka adalah pendatang baru yang punya potensi besar. Namun, satu momen yang tak terkendali mampu mengubah arah karier mereka dalam sekejap. Insiden ini menjadi cermin bahwa popularitas bukan tameng dari konsekuensi. Dalam era digital, satu ucapan bisa berputar cepat dan menghapus semua pencapaian yang susah payah dibangun.
Akan tetapi, setiap badai pasti berlalu. Yang penting adalah bagaimana mereka belajar dari kejadian ini. Jika benar-benar ingin kembali dipercaya, bukan hanya tindakan yang harus berubah, tetapi juga pemahaman mereka tentang dunia yang begitu beragam dan sensitif ini. Publik akan menilai bukan dari kata, tapi dari arah baru yang mereka ambil setelah badai reda.